KEARIFAN LOKAL “SMONG” MITIGASI BENCANA BERBASIS TRADISI DARI SIMEULUE UNTUK DUNIA Ditulis oleh : Moehammad Riswan Roesli (Pemerhati seni dan budaya tradisional Simeulue)

Menjelang akhir Desember 2022, perhatian dunia kembali diingatkan kepada tragedi “Smong” (tsunami) yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, 18 tahun lalu yang populer juga disebut dengan “tsunami Aceh”. Peristiwa dahsyat yang memilukan itu banyak menelan korban jiwa, harta benda dan rusaknya berbagai infrastruktur serta lumpuhnya sendi-sendi perekonomian masyarakat. Hal yang sama juga dialami dan dirasakan di beberapa negara tetangga Indonesia seperti; Malaysia, Sri Langka, Thailand.
Di Pulau Simeulue, peristiwa ini disebut dengan “Smong” yang dipicu oleh gempa berkekuatan 9,3 SR dengan kedalaman 20 kilometer dan epicentrum sekitar 40 mil laut dari Pulau Selaut Besar dan Selaut Kecil di wilayah Kecamatan Alafan pada koordinat 3,298° Lintang Utara dan 95,779° Bujur Timur. (Sanny, 2007)
Ketika peristiwa Smong (tsunami) tersebut terjadi, banyak orang memperkirakan Pulau Simeulue tentunya telah tenggelam, mengingat epicentrum gempanya sangat dekat dengan Pulau tersebut. Alhamdulillah Allah Maha Kuasa, ternyata pulau dipenghujung pantai Barat Aceh tersebut masih tetap dalam posisinya dan tidak sebagaimana anggapan orang banyak, sedangkan korbannya pun hanya 7 orang termasuk 3 orang meninggal di pengungsian karena sakit dan usia tua.
Di Kabupaten Simeulue yang terdiri dari beberapa gugus kepulauan tersebut apabila terjadi peristiwa seperti Smong (tsunami) sebagaimana terjadi pada 26 Desember 2004 delapan belas tahun silam, atas izin Allah SWT masyarakatnya telah memiliki sebentuk awareness kolektif yang telah terkonstruk sedemikian rupa, bahwa jika terjadi gempa bumi yang kuat kemudian disusul air laut yang surut seketika dan ternak-ternak kerbau dipantai berlarian kedataran tinggi, bersegeralah menuju bukit atau tempat-tempat yang tinggi karena tidak berselang lama akan datang gelombang atau ombak yang besar menuju daratan yang oleh masyarakat Simeulue disebut “Smong” atau tsunami dalam bahasa populernya. Oleh karena itu penduduk yang berlarian untuk mengungsi secara spontan berteriak; Smong.....! Smong..... ! Smong...... ! sebagai pemberitahuan kepada penduduk yang rumahnya dilewati ketika mengungsi, layaknya sebagai sebuah komando tanpa perintah.
Tindakan spontan tersebut tentunya diperoleh sebagai warisan dari leluhur Simeulue yang konon kabarnya pernah dihantam “Smong” (tsunami) sebelum terjadi tragedi yang sama yaitu prahara “Smong” (tsunami) 1907. Beberapa kali dilanda prahara Smong yang diyakini telah melahirkan kesadaran leluhur masyarakat Simeulue untuk menyiapkan generasi selanjutnya menghadapi bencana serupa. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman beberapa kali menghadapi bencana yang sama tersebut akhirnya menjadikan sebentuk awareness atau kesadaran yang bersifat kolektif dan merupakan early warning system yang efektif, sehingga menjadi sebuah budaya atau kearifan yang diakui oleh dunia sebagai mitigasi bencana berbasis tradisi yang juga disebut sebagai budaya “Smong”