KEARIFAN LOKAL “SMONG” MITIGASI BENCANA BERBASIS TRADISI DARI SIMEULUE UNTUK DUNIA Ditulis oleh : Moehammad Riswan Roesli (Pemerhati seni dan budaya tradisional Simeulue)

- Pada pertengahan tahun 2016 lalu, sebuah komunitas seni budaya dari Kabupaten Simeulue yang bernama “Central Culture Simeulue” berkesempatan pula memperkenalkan kesenian tradisional Simeulue Nandong yang bertema sentral tentang kearifan Smong tersebut dan beberapa kesenian tradisional lainnya di Kuala Lumpur. Pagelaran tersebut dilaksanakan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur atas undangan panitia pelantikan pengurus KNPI Perwakilan Malaysia.
- Pada tanggal 25 sampai dengan 28 Mei 2022, berlangsung sebuah pertemuan berskala internasional yaitu The 7th Global Platform For Disaster Risk Reduction 2022 yang dilaksanakan oleh sebuah badan atau organisasi yang bernaung dibawah PBB, di Bali.
Pertemuan ini dihadiri oleh 15 negara. Karena pertemuan ini berkaitan dengan mitigasi bencana, ternyata kesenian tradisional Simeulue Nandong dengan tema Smong turut mengisi agenda pertemuan tersebut atas undangan panitia pelaksana yang dilantunkan oleh Yoppi Andry yang juga dikenal dengan Yoppi Smong, seniman Simeulue yang berdomisili di Bantul, Yogyakarta.
Kemudian pada acara dinner penutupan pertemuan internasional tersebut ternyata syair-syair Smong menarik perhatian Emi, seorang seniman dari Sudan dengan diiringi gesekan biola Yoppi Andry, Emi membaca puisi yang syair nya adalah bait-bait Smong tersebut yang berisikan petuah leluhur generasi Simeulue dalam menghadapi bencana tsunami dan juga dapat disebut sebagai early warning system yang tidak kalah efektif dengan peralatan bertehnologi canggih.
Dengan semakin dikenalnya “Smong” baik sebagai kosakata maupun sebagai budaya atau kearifan oleh dunia, maka seyogyanya lah kearifan lokal masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana, khususnya gempa bumi yang disusul dengan “Smong” (tsunami) tersebut harus dijaga dan dilestarikan, tidak hanya kepada generasi penerus Simeulue saja tetapi bahkan juga kepada generasi penerus dunia, apakah dalam bentuk media pendidikan disekolah-sekolah untuk dijadikan kurikulum muatan lokal serta menjadikan kearifan lokal tersebut sebagai “warisan budaya tak benda”.
Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa “Smong” sebagai sebuah budaya dalam hal mitigasi bencana berbasis tradisi ini tidak hanya menjadi milik generasi Simeulue, tetapi juga telah menjadi milik masyarakat dunia sebagaimana judul tulisan ini “dari Simeulue untuk dunia”.
Semoga tulisan ini bermanfaat dalam menjaga, memelihara serta melestarikan budaya atau kearifan lokal masyarakat Simeulue tersebut, baik untuk sendiri maupun dimata dunia.